Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela,
membangunkan sang pemilik kamar yang sedang terlelap. Tara terbangun dari
tidurnya dengan mata sembab, kejadian semalam kembali berputar di otaknya,
membuat Tara kembali terisak.
Diantara isakannya, Tara menyempatkan diri melirik ke
arah jam, pukul tujuh lebih sepuluh menit rupanya. Tara memutuskan untuk absen
sekolah karena sepuluh menit yang lalu bel pertanda masuk sudah berbunyi dan ia
pun masih butuh waktu untuk menyendiri
.
Tara segera melirik ke ponsel yang ada di meja lalu
mengambilnya. Ada lima missed calls dari Yama, rupanya dia kehilangan sosok
Tara pagi ini. Tara juga membuka pesan singkat dari Yama.
“Tara, kenapa kamu
belum datang?Kamu ga sakit kan?Kamu ga jadi berangkat sama Hans ya?Tadi aku
liat dia dateng ke sekolah sendirian. Dibalas ya, aku khawatir.”
Ah iya, seharusnya hari ini Tara berangkat sekolah bareng
Hans. Pasti tadi pagi Hans menunggunya di halte. Tara pun langsung mengetik
pesan balasan untuk Yama.
“Maaf Yama aku baru
lihat pesanmu, hari ini aku sakit jadi ga masuk sekolah. Aku juga baru inget
kalo harus berangkat bareng Hans. Oh iya, nanti kalo kamu ketemu sama Hans
bilangin maaf hari ini ga berangkat sekolah bareng.”
Tiba-tiba saja perutnya berbunyi minta makan, maka dengan
malas, Tara keluar dari kamarnya menuju dapur. Tara melihat pesan yang
tertempel di pintu kulkas.
“Tara, kalau kamu
sudah bangun langsung makan ya, ada makanan di meja makan. Kamu makan ya
sayang. Mama dan papa mau kerja dulu. Love you.”
Tara langsung makan tanpa mempedulikan pesan dari
mamanya. Rasa kecewa masih tersimpan rapat di hatinya. Setelah makan, Tara
kembali masuk ke kamarnya untuk mengurung diri.
“Aduh, Tara mana sih?Udah jam segini belum dateng-dateng.
Harusnya kan dia semangat 45 mau berangkat bareng Hans.” Yama terus menggerutu
sambil melihat jam di ponselnya. Yama sudah menghubungi ponsel Tara lima kali
tapi tak satupun diangkat.
Karena tidak tahan
menunggu Tara, ia langsung melesat ke ruang kelas IX-C untuk menemui Hans. Baru
setengah perjalanan, Yama melihat Hans datang berlawanan arah dari tempatnya
berdiri. Sebelum otaknya memerintah, kakinya telah lebih dulu berjalan
mendekati Hans. Merasa cukup dekat, Yama memanggil nama cowo yang berjarak
beberapa meter di depannya, “Hans, tunggu!”.
Suara Yama yang cukup lantang membuat Hans dan beberapa
siswa lain di koridor menoleh kearahnya, namun ia tak peduli, yang terpenting
sekarang adalah tau keadaan Tara.
“Eh ada apa?” Tanya Hans heran.
“Kamu katanya mau berangkat sama Tara kan?” Bukannya
menjawab pertanyaan Hans, Yama malah balik bertanya.
“Iya, udah lama aku nungguin di halte tapi dia ga
dateng-dateng jadi aku berangkat duluan. Emang ada apa?”
“Aneh ya, Tara belum dateng juga. Biasanya jam segini
udah dateng.” Jawab Yama cemas.
“Malah aku kira dia udah berangkat duluan. Coba aja kamu
hubungin hp nya, ga usah panik dulu.” Kata Hans sambil tersenyum.
“Iya deh, nanti aku coba sms dia. Aku balik ke kelas dulu
ya.” Yama langsung pergi tanpa mendengar lagi jawaban Hans karena bel sudah mau
berbunyi. Sambil menuju kelasnya, Yama mengirimkan pesan untuk Tara.
“Tara, kenapa kamu
belum datang?Kamu ga sakit kan?Kamu ga jadi berangkat sama Hans ya?Tadi aku
liat dia dateng ke sekolah sendirian. Dibalas ya, aku khawatir.”
Bel pun berbunyi tepat saat Yama mengirimkan pesannya
untuk Tara. Yama pun segera menyembunyikan ponselnya di laci sambil berharap
ada jawaban secepatnya dari Tara. Harapan Yama terkabul, sepuluh menit kemudian
ada balasan dari Tara.
“Maaf Yama aku baru
lihat pesanmu, hari ini aku sakit jadi ga masuk sekolah. Aku juga baru inget
kalo harus berangkat bareng Hans. Oh iya, nanti kalo kamu ketemu sama Hans
bilangin maaf hari ini ga berangkat sekolah bareng.”
“Hah?Tara sakit?Kayanya kemarin baik-baik aja deh.” Gumam
Yama sambil memasukan kembali ponselnya ke dalam laci mejanya karena Pa Lutfi,
guru fisika, sudah memasuki kelas. Yama memutuskan untuk mengunjungi rumah Tara
sepulang sekolah nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar